Glodok bukan hanya terkenal sebagai pusat penjualan barang elektronik. Daerah ini juga menyimpan cerita soal keturunan etnis Tionghoa, yang menarik untuk ditelusuri. Menyambut Imlek, yuk kita jalan-jalan di sana. Budaya merantau orang-orang Tionghoa membawa mereka ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Baca juga : Jual genset Bali
Di awal kedatangannya, para parantau ini membentuk sebuah permukiman untuk etnis mereka, yang kerap dikenal dengan nama Chinatown atau Pecinan. Walaupun sudah terpisah ribuan kilometer dari tanah leluhur, mereka tetap membawa adat mereka ke Pecinan, termasuk soal perdagangan dan bangunan. Di Jakarta, Glodoklah yang menjadi pusat permukiman dan perdagangan bangsa Tionghoa yang menentap di Indonesia.
Dalam buku Betawi: Queen from The East karangan Alwi Shahab, tertulis tentang asal muasal nama Glodok. Konon, nama Glodok berasal dari bunyi air “grojok-grojok” yang sering terdengar di sana karena semula tempat itu adalah tempat pemberhentian dan pemberian minum untuk kuda-kuda penarik beban.
Namun menurut Mariah Waworuntu, seorang pemerhati sejarah dari Universitas Indonesia, nama Glodok berasal dari kata grobak, tempat membawa dan menjual air dari Pancoran, yaitu glodok. Darimana pun asal namanya, Glodok menyimpan banyak cerita tentang keberadaan masyarakat Tionghoa di Jakarta.
Walaupun sekarang ini Glodok sudah berkembang menjadi permukiman padat dan pusat perniagaan yang ramai, masih ada sisa-sisa bangunan Tionghoa yang ada di sana. Menjelang Imlek, pas rasanya jika kita menyambangi daerah Glodok untuk melihat beberapa bangunan peninggalan masyarakat Tionghoa.
RUTE YANG DISARANKAN Halte Transjakarta Glodok—Vihara Dharma Sakti—Gereja Santa Maria Fatima— Vihara Toa Se Bio—Vihara Tanda Bhakti—Jl. Perniagaan (Rumah Keluarga Sow)—Pasar Petak 9—Gang Gloria— Kota Tua (Halte Transjakarta Kota).
GEREJA SANTA MARIA FATIMA
Di belakang Vihara Dharma Sakti terdapat sebuah gereja unik karena dari luar bentuknya tak mirip gereja pada umumnya. Sebelum menjadi gereja, bangunan ini adalah kediaman Luitenant der Chinezen (Letnan China) bermarga Tjioe. Itu sebabnya, gereja ini kental dengan arsitektur Tionghoa: rumah melebar, ujung atap melengkung gaya ekor walet dan dua singa batu di halaman depan. Jendela dan pintunya pun bergaya Tionghoa, dan tetap dibiarkan seperti adanya.
Di depan pintu besar berwarna merah malah terdapat sketsel (partisi) yang sarat dengan motif Tionghoa. Bagian dalam gereja juga kental dengan nuansa Tionghoa; dua buah ruangan berpintu bundar, ciri khas rumah pejabat Tionghoa, bisa ditemukan di kanan dan kiri altar. Gereja ini tak dibuka untuk umum, hanya dibuka untuk yang melakukan misa. Namun Anda bisa melongok ke dalamnya, tentunya dengan meminta izin pengurus gereja terlebih dahulu.